Tips Menulis versi Elisabeth Ibu Aba (Member Alineaku)
Nama saya Elis. Saya seorang yang selalu merasa takut terhadap hal-hal yang sedang dikerjakan. Takut salah, takut tidak selesai, takut mendapatkan komentar negatif, takut diremehkan, pokoknya semua rasa itu menjadi satu. Akibatnya, saya selalu menunda pekerjaan yang masih dalam proses, terutama pekerjaan menulis.
Kadang selalu berpacu dengan teman dalam menulis, saya selalu iri dan bertanya ke diri sendiri, mengapa saya tidak bisa menulis dengan cepat atau mengapa ide-ide cemerlang itu datangnya selalu terlambat? Padahal teman begitu cepat menyelesaikan tulisannya. Ide-ide mereka begitu banyak dan selalu mendapat inspirasi. Sedangkan aku, paling inspirasi itu datang ketika merasa dikejardeadline saja.
Saya kadang tidak tidur semalaman hanya karena mau menyelesaikan tulisan yang batas penyetorannya esok harinya. Pada saat itulah inspirasi-inspirasi bermunculan begitu cepat bahkan cemerlang. Ternyata tulisanku bagus dan disukai banyak orang. Ini terjadi ketika saya ditugaskan untuk membawakan Homili/kotbah. Saya terima dalam ketakutan dan semacamnya. Saya berdoa dan hanya mencari informasi dan inspirasi lewat membaca dan membaca. Sampai H-1 deadlinenya , saya baru mulai menuangkan dalam tulisan yang akan saya bawakan esok harinya. Dan ternyata saya bisa percaya diri dan membawakan homily atau renungan itu dengan baik dan menarik. Apakah hal seperti ini dapat saya praktekkan dalam latihan menulis ini?
Ketika saya mulai menulis rasanya seperti memikul beban berat karena menguras otak dan tenaga. Saya membaca tulisan seorang mentor kita Bapak Cahyadi Takariawan (Spririt Menulis dari Tokoh Dunia – 6 ), saya tersentuh dengan kalimat : “Salah satu factor yang membuat banyak penulis pemula ragu-ragu memublikasikan karya mereka adalah harapan untuk menyenangkan orang lain. Dampaknya, mereka takut dibenci dan ditolak oleh masyarakat”. Inilah yang membuat keraguan saya menjadi terbukti.
Tetapi setelah saya membaca lanjut, seorang tokoh dunia yang bernama Madeleine L’engle mengatakan bahwa “Jika anda menulis buku yang mengatakan sesuatu untuk menyenangkan semua orang maka anda telah gagal”.
Oh ya… Saya mulai sadar dan melek. Saya harus siap mendapat serangan terbuka dan berusaha optimis serta siap menerima semua resiko yang bakal terjadi. Telah lama dan terus-menerus saya mengikuti pelbagai pendidikan dan pelatihan menulis baik karya ilmiah maupun non ilmiah, baik offline maupun online, baik yang gratis maupun berbayar. Saya berada dalam grup-grup WA tentang menulis, antara lain, webinar menulis 12, diskusi Menulis alineaku, Workshop Pembelajaran, Tulis Buku Single, dan KMO FNF BATCH 2, namun belum satupun tulisan yang saya publikasikan secara bebas dan sukacita. Pasti penuh dengan beban berat karena sebuah ketakutan. Meskipun saya sudah bisa menulis fiksi seperti puisi , surat cinta untuk orang terkasih, non fiksi seperti Best Practice, PTK dan atrikel namun rasa takut tidak pernah hilang dari diri saya. Rasa takut ini sangat menghantui pikiran dan jiwa saya. Dampaknya adalah bisa tidak tidur semalaman. Tetapi setelah tulisan itu selesai, dan berhasil dipublikasikan maka rasa takut berubah menjadi rasa puas dan bangga bagi diriku sendiri.
Memang benar apa kata mentor kita Bapak Cahyadi Takariawan, “Apakah anda masih tetap menunggu inspirasi atau ide untuk menulis? Atau anda masih menunggu mood untuk menulis, padahal anda sudah tahu rumusnya? Jika demikian maka anda bukanlah writer. Anda adalah waiter”.
Oleh karena itu saya perlu belajar kepada Harper Lee (1926 – 2016), bagaimana bisa menulis tanpa harus menunggu inspirasi. Menurut Harper Lee, sebelum mengembangkan kemampuan menulis, yang harus anda kembangkan adalah “TEBAL MUKA”. Mengapa demikian ? Sebab jika anda “tipis muka”, membuat anda selalu tidak percaya diri untuk menulis dan memublikasikan tulisan anda. Dampaknya selalu maju mundur dalam proses menulis (Cahyadi Takariawan, Menjadi Writer bukan Waiter, 2 Januari 2022).
Untuk saat ini saya akan mulai menulis dan menulis setelah membaca dan membaca. Saya akan menuangkan berbagai emosi saya dan mulai menulis dengan hati dan memperbaiki tulisan dengan pikiran. Saya harus bisa menulis dengan semua ekspresi emosi yang saya miliki untuk mengubah ketakutan menjadi kekuatanku dalam menapaki dunia tulis-menulis ini. Semoga saya selalu tebal muka menghadapi segala komentar sumbang ataupun kritikan. Itu semua menjadi kekuatan bagi saya untuk maju dan mendisiplinkan diri dalam menulis dan menulis tanpa harus menunggu inspirasi atau mood untuk menulis.
Seperti kata Yesus : “Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang tidak layak untuk Kerajaan Allah”. Semoga sabda Yesus ini menguatkan tekad dan semangat saya untuk maju, menulis dan menulis tanpa merasa takut. Ketakutanku itunakan selalu diubah menjadi kekuatanku.
“Naskah ini merupakan kiriman dari peserta KMO Alineaku,
isi naskah sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.”